Halaman

Senin, 20 Juli 2015

Daksina


Daksina
isi dan makna yang terkandung di dalamnya

Daksina secara simbolis adalah stana Hyang widhi dalam manifestasinya sebagai dewa Brahma selaku utpeti pencipta alam semesta ini yang dalam upacara yadnya disebutkan berfungsi sebagai :
Permohonan yang tulus kehadapan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa agar Beliau berkenan melimpahkan wara nugrahaNya sehingga mendapat keselamatan.
Sebagai persembahan atau tanda terima kasih yang dalam "Yadnya Patni", disebutkan daksina selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan.
Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru / Hyang Tunggal. Kata daksina juga berarti selatan (arah dimana dewa Brahma, sebagai pencipta) daksina/kelapa adalah lambang dimana Kesadaran akan Tuhan pertama kali tumbuh.

Unsur-unsur yang membentuk daksina, diurut dari isi terbawah hingga diatas yaitu:
Alas bedogan/srembeng/wakul/katung;
terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya.
Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina;
terbuat dari janur/slepan yang dibuta melingkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul.
Bedogan bagian tengah ini adalah lambang akasa (ruang/Eter; Panca Maha Butha) yang tanpa tepi.
Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan )
Tampak; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak sebagai lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.
Beras; yang merupakan makanan pokok sebagai lambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siwa)
Porosan; sirih yang di dalamnya dilengkapi dengan kapur dan pinang.
Kelapa; buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian / tirtha amertha) ), saat ngantebang pejati, mantramnya: Om Siva sutram yajna upavitam paramam pawitram….dan seterusnya. Kata pawitram menunjuk pada air kelapa sebagai persembahan utama. Makanya seusai pemujaan kelapa dibelah lalu airnya ditunas sebagai Tirtha Pawitra. atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar.

lambang Sapta Patala pada kelapa yaitu:
Air sebagai lambang Mahatala,
Isi lembutnya lambang Talatala,
isinya lambang tala,
lapisan pada isinya lambang Antala,
lapisan isi yang keras lambang sutala,
lapisan tipis paling dalam lambang Nitala,
batoknya lambang Patala.
Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu:
Serat serabut basah lambang Swarga Loka,
Serabut basah lambanag Maha loka,
serabut kering lambang Jnana loka,
kulit serat kering lambang Tapa loka,
Kulit kering sebagai lambang Satya loka

Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pengikat indria.

Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan / getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu
Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira,
Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan
Kulit telor lambang sthula sarira dll
dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang bila perlu)

Pisang, Tebu dan Kojong; simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari alam mayapada ini.
Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya.
Dalam tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu melambangkan tulang.
Buah Kemiri;
simbol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki,
dari segi warna putih (ketulusan)
Buah kluwek/Pangi;
lambang pradhana / kebendaan / perempuan (wanita),
dari segi warna merah (kekuatan). Dalam tetandingan melambangkan dagu.
Gegantusan; merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua sebagai lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
Papeselan merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Dewata;
daun duku lambang Iswara,
daun manggis lambang Brahma,
daun durian / langsat / ceroring lambang Mahadewa,
daun salak / mangga lambang Wisnu,
daun nangka atau timbul lambang Bhatara Siwa.
Bija ratus; campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya; godem (hitam – wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua).
Benang Tukelan; alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan Naga Basuki dan Naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Ksirarnawa untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jiwatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum pralina, atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. dalam tetandingan banten dipergunakan sebagai lambang usus/perut.
Uang Kepeng / pis bolong; simbol alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
Sesari; sebagai lambang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)
Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria
Sebagai tambahan, disebutkan pula bahwa daksina juga disebutkan :
Sebgai perwujudan Dewa Pitara yang dituntun pada Sanghyang Kamulan setelah prosesi upacara Atma Wedana yang disthanakan di sanggah kamulan. untuk dapat menyatu dengan Sang Penciptanya.
Jenis-jenis dalam makna Filosofis daksina disebutkan :
Daksina Alit | satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
Daksina Pekala-kalaan | Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi.
Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
Daksina Krepa | isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
Daksina Gede atau Daksina Galakan atau Pemopog | Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan banten yang lain.
Daksina Tapakan / Linggih | dilengkapi dengan peperai /wajah/ muka sebagai sarana dalam upacara nedunang Bhatara pada saat sedang melangsungkan upacara piodalan sebagai usaha untuk mencapai jagadhita.

Senin, 13 Juli 2015

Makna Penampahan Galungan


Penampahan Galungan
Berasal dari kata tampah atau sembelih artinya; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yaitu Mabyakala yaitu; membayar kepada Bhuta Kala. Makna sesungguhnya dari hari penampahan ini adalah memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri, bukan di luar termasuk sifat hewani tersebut. Ini sesuai dengan lontar Sunarigama yaitu ; “Pamyakala kala malaradan” artinya membayar hutang kepada ruang dan waktu. Bhuta = ruang , Kala = waktu , jadi Bhuta kala adalah ruang dan waktu, jadi harus diharmonisasi karena kita hidup diantara keduanya termasuk Atma hidup di antara ruang dan waktu jasmani yang diliputi oleh Bhuta. Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara – kegelapan yang bercokol dalam diri. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri. Dengan demikian bagaimana mau jadi pemenang malah jadi pecundang.