fungsi Canang sari dan Segehan
Canang sari dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap bebantenan apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung. Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala.
Mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan. Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda, hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
1. Canang memakai alas berupa "ceper" (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan "Ardha Candra" (bulan).
2. Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" (terdiri dari daun sirih, pamor [kapur] dan dimasukkan dalam jepitan janur) sebagai simbol "Silih Asih" dan Poros/Pusat yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
3. Di atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali).
4. Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
5. Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Mahamertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).
Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana = Bhur-Bwah-Swah).
Segehan
Setelah kita menghaturkan canang sari, akan dilanjutkan dengan menghaturkan segehan. Segehan pun dibuat harus berdasarkan tattwa, dengan nasi yang berwarna seperti halnya dengan canang. Nasi pada segehan untuk yang dihaturkan di dalam lingkungan rumah seharusnya di kepel (di padatkan dengan kepalan tangan) sebagai simbol keteguhan dan kesatuan, agar keluarga dalam rumah tinggal dianugerahkan kedamaian, keteguhan dan kerukunan.
Arah Timur, warna nasi adalah putih.
Arah Selatan, warna nasi adalah merah. Dapat menggunakan nasi dari beras merah atau diwarnai dengan warna alami seperti pamor (kapur) dan sirih.
Arah Barat, warna nasi adalah kuning. Dapat diwarnai dengan kunyit.
Arah Utara, warna nasi adalah hitam. Dapat diwarnai dengan arang atau kopi.
Selalu mengusahakan pewarnaan nasi dengan warna alami, jangan menggunakan pewarna buatan, karena sama dengan kita sedang berbohong.
Di dalam segehan, selain nasi kepel juga berisi :
Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Bunga, cukup sehelai.
Garam sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan.
Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan.
Garam, bawang dan jahe adalah simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya.
Sesuai penjelasan di atas, maka canang sari dan segehan tersebut mengandung simbul kekuatan Sang Hyang Panca Dewata. Maka sudah sepantasnya, dalam penyusunannya tidak boleh asal-asalan asal kelihatan seni atau ngawur apalagi berantakan, kita seharusnya memperhatikan makna dan tujuannya. Kekeliruan yang sering dan lumrah kita lihat dikeseharian adalah tidak memperhatikannya arah mata angin pada saat menghaturkan canang sari, yang mana seharusnya luanan (hulu) mana teben. Kekeliruan akan terakumulasi mulai dari susunan bunga pada canang yang tidak sesuai ditambah lagi saat menghaturkannya tidak memperhatikan arah mata angin. Misalnya, warna putih seharusnya ke arah timur justru dipasang di arah barat, kemudian merah seharusnya di selatan justru ke timur.
Pernah saya mendengar keluh kesah dari beberapa kesempatan, mereka mengatakan bahwa, sudah menghaturkan canang sari dan segehan setiap hari ternyata hidup saya dan keluarga masih kacau balau.
Ironis bukan, jika ditelusuri ternyata kekacauan itu ternyata bukan semata-mata dari luar kita. Memang kita mungkin sudah menghaturkan canang sari setiap hari, namun tidak sesuai tata cara dan aturan sesuai Tattwa-nya. Sehingga yang terjadi adalah, kita menghaturkan canang sari yang isinya kacau balau, arah yang tidak sesuai apalagi ditambah isi yang tidak lengkap. Dengan kata lain, kacau balau dan ketidak sesuaian arah dan kehidupan yang tidak lengkap itulah yang kita mohonkan sesuai seperti kita menghaturkan canang yang kacau balau.
Yang dihaturkan --- kacau balau, maka anugerah yang diberikan adalah kekacauan... bukankah ini telah sesuai?
Jadi salah siapa?
Menghaturkan canang sari yang terbaik adalah dilakukan pada pagi hari, caranya haturkan canang sari pada tempatnya (seperti rong pelinggih dsb) sesuaikan warna bunga dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Saat ngayab, pastikan menggunakan tangan kanan, kemudian bunga pada posisi antara jari telunjuk dan jari tengah sebagai simbolis Siwa di dalam raga kita. Gerakan ngayab harus lemah gemulai dari sisi luar belakang ke arah depan. Harap hanya menggunakan tangan, jangan menggunakan alat bantu lainnya seperti saab atau lainnya yang tidak ada maknanya dalam tattwa.
Menghaturkan canang sari di pagi hari adalah simbolis Utpeti agar dalam hari tersebut kita mendapat restu anugerah dan karunia Sang Hyang Widhi. Kemudian lanjutkan dengan kegiatan sehari-hari kita yang merupakan Stiti . Kemudian pada sore harinya Salikaon (setelah matahari terbenam) kita menghaturkan segehan sebagai simbolis Pralina, sebagai ucap syukur dan mempersembahkan atau mengembalikan semua yang kita lakukan pada hari tersebut ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Cara menghaturkan segehan pun ada aturannya. Letakkan segehan pada tempatnya di bawah (tidak di rong pelinggih) sesuaikan warna nasi dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu tuangkan Berem kemudian Arak berlawanan arah dengan jarum jam (ke kiri). Putaran ke kiri memiliki makna ke bawah (turun). Berem adalah simbol Ang dan Arak adalah Ah (lebih lengkapnya lihat catatan saya tentang "Makna Arak Berem"). Kemudian percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Kemudian ngayab seperti pada canang sari di atas. Sebagai penutupnya maka tuangkan kembali dengan urutan berbalik yaitu Arak kemudian Berem, searah dengan jarum jam (ke kanan). Putaran ke kanan memiliki makna ke atas (naik), ini simbolis ngeluhur yaitu mempersilahkan kekuatan Hyang Widhi untuk kembali kepada asalnya. Putaran bolak-balik ke kiri dan ke kanan ini pun simbolis dari kisah pemuteran Mandara Giri, untuk memohon dimancurkannya Tirtha Kehidupan (Panca Tirtha).
Demikian secara singkat tentang ritual sehari-hari beserta maknanya sesuai Tattwa ajaran Hindu Bali.
Semoga bagi yang membaca catatan ini yang kebetulan penganut Hindu Bali agar memperhatikan dan mulai memperbaiki apabila ternyata telah terjadi ketidaksesuaian dengan tattwa di atas. Semoga kehidupan anda dan keluarga akan semakin membaik.
Canang sari dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap bebantenan apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung. Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala.
Mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan. Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda, hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
1. Canang memakai alas berupa "ceper" (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan "Ardha Candra" (bulan).
2. Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" (terdiri dari daun sirih, pamor [kapur] dan dimasukkan dalam jepitan janur) sebagai simbol "Silih Asih" dan Poros/Pusat yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
3. Di atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali).
4. Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
5. Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Mahamertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).
Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana = Bhur-Bwah-Swah).
Segehan
Setelah kita menghaturkan canang sari, akan dilanjutkan dengan menghaturkan segehan. Segehan pun dibuat harus berdasarkan tattwa, dengan nasi yang berwarna seperti halnya dengan canang. Nasi pada segehan untuk yang dihaturkan di dalam lingkungan rumah seharusnya di kepel (di padatkan dengan kepalan tangan) sebagai simbol keteguhan dan kesatuan, agar keluarga dalam rumah tinggal dianugerahkan kedamaian, keteguhan dan kerukunan.
Arah Timur, warna nasi adalah putih.
Arah Selatan, warna nasi adalah merah. Dapat menggunakan nasi dari beras merah atau diwarnai dengan warna alami seperti pamor (kapur) dan sirih.
Arah Barat, warna nasi adalah kuning. Dapat diwarnai dengan kunyit.
Arah Utara, warna nasi adalah hitam. Dapat diwarnai dengan arang atau kopi.
Selalu mengusahakan pewarnaan nasi dengan warna alami, jangan menggunakan pewarna buatan, karena sama dengan kita sedang berbohong.
Di dalam segehan, selain nasi kepel juga berisi :
Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Bunga, cukup sehelai.
Garam sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan.
Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan.
Garam, bawang dan jahe adalah simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya.
Sesuai penjelasan di atas, maka canang sari dan segehan tersebut mengandung simbul kekuatan Sang Hyang Panca Dewata. Maka sudah sepantasnya, dalam penyusunannya tidak boleh asal-asalan asal kelihatan seni atau ngawur apalagi berantakan, kita seharusnya memperhatikan makna dan tujuannya. Kekeliruan yang sering dan lumrah kita lihat dikeseharian adalah tidak memperhatikannya arah mata angin pada saat menghaturkan canang sari, yang mana seharusnya luanan (hulu) mana teben. Kekeliruan akan terakumulasi mulai dari susunan bunga pada canang yang tidak sesuai ditambah lagi saat menghaturkannya tidak memperhatikan arah mata angin. Misalnya, warna putih seharusnya ke arah timur justru dipasang di arah barat, kemudian merah seharusnya di selatan justru ke timur.
Pernah saya mendengar keluh kesah dari beberapa kesempatan, mereka mengatakan bahwa, sudah menghaturkan canang sari dan segehan setiap hari ternyata hidup saya dan keluarga masih kacau balau.
Ironis bukan, jika ditelusuri ternyata kekacauan itu ternyata bukan semata-mata dari luar kita. Memang kita mungkin sudah menghaturkan canang sari setiap hari, namun tidak sesuai tata cara dan aturan sesuai Tattwa-nya. Sehingga yang terjadi adalah, kita menghaturkan canang sari yang isinya kacau balau, arah yang tidak sesuai apalagi ditambah isi yang tidak lengkap. Dengan kata lain, kacau balau dan ketidak sesuaian arah dan kehidupan yang tidak lengkap itulah yang kita mohonkan sesuai seperti kita menghaturkan canang yang kacau balau.
Yang dihaturkan --- kacau balau, maka anugerah yang diberikan adalah kekacauan... bukankah ini telah sesuai?
Jadi salah siapa?
Menghaturkan canang sari yang terbaik adalah dilakukan pada pagi hari, caranya haturkan canang sari pada tempatnya (seperti rong pelinggih dsb) sesuaikan warna bunga dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Saat ngayab, pastikan menggunakan tangan kanan, kemudian bunga pada posisi antara jari telunjuk dan jari tengah sebagai simbolis Siwa di dalam raga kita. Gerakan ngayab harus lemah gemulai dari sisi luar belakang ke arah depan. Harap hanya menggunakan tangan, jangan menggunakan alat bantu lainnya seperti saab atau lainnya yang tidak ada maknanya dalam tattwa.
Menghaturkan canang sari di pagi hari adalah simbolis Utpeti agar dalam hari tersebut kita mendapat restu anugerah dan karunia Sang Hyang Widhi. Kemudian lanjutkan dengan kegiatan sehari-hari kita yang merupakan Stiti . Kemudian pada sore harinya Salikaon (setelah matahari terbenam) kita menghaturkan segehan sebagai simbolis Pralina, sebagai ucap syukur dan mempersembahkan atau mengembalikan semua yang kita lakukan pada hari tersebut ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Cara menghaturkan segehan pun ada aturannya. Letakkan segehan pada tempatnya di bawah (tidak di rong pelinggih) sesuaikan warna nasi dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu tuangkan Berem kemudian Arak berlawanan arah dengan jarum jam (ke kiri). Putaran ke kiri memiliki makna ke bawah (turun). Berem adalah simbol Ang dan Arak adalah Ah (lebih lengkapnya lihat catatan saya tentang "Makna Arak Berem"). Kemudian percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Kemudian ngayab seperti pada canang sari di atas. Sebagai penutupnya maka tuangkan kembali dengan urutan berbalik yaitu Arak kemudian Berem, searah dengan jarum jam (ke kanan). Putaran ke kanan memiliki makna ke atas (naik), ini simbolis ngeluhur yaitu mempersilahkan kekuatan Hyang Widhi untuk kembali kepada asalnya. Putaran bolak-balik ke kiri dan ke kanan ini pun simbolis dari kisah pemuteran Mandara Giri, untuk memohon dimancurkannya Tirtha Kehidupan (Panca Tirtha).
Demikian secara singkat tentang ritual sehari-hari beserta maknanya sesuai Tattwa ajaran Hindu Bali.
Semoga bagi yang membaca catatan ini yang kebetulan penganut Hindu Bali agar memperhatikan dan mulai memperbaiki apabila ternyata telah terjadi ketidaksesuaian dengan tattwa di atas. Semoga kehidupan anda dan keluarga akan semakin membaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar