Halaman

Senin, 08 April 2013

Makna Hari Raya Galungan & Kuningan


Setiap menjelang hari Raya Galungan, pastilah kita sering menerima dan mengirim-membuat ucapan selamat baik secara langsung maupun melalui media, seperti surat kabar, majalah, TV, SMS, dsb. Jika dibaca dan dihayati ucapan itu begitu Indah dan melankolis. Tapi yang ada sesungguhnya kita lebih banyak membohongi diri sendiri, karena apa yang kita ucapkan dan kita buat kita belum bisa melakukannya atau belum dapat meraihnya, yaitu jadi Pemenang atas Dharma Jati Diri melawan Adharma yang ada dalam diri ini juga.

Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti; menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan dalam Bahasa Bali Kuno. Hari Raya Galungan sudah dirayakan terlebih dahulu di tanah Jawa, ini sesuai dengan lontar berbahasa Jawa Kuno yaitu : Kidung Panji Amalat Rasmi. Di Bali Hari Raya Galungan untuk pertama kali dilaksanakan pada Hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi ini sesuai dengan lontar “Purana Bali Dwipa”

Makna Filossofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari Adharma dan mana dari Budhi Atma yaitu : Suara Kebenaran (Dharma) dalam diri manusia. Disamping itu juga berarti kemampuan untuk membedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad) karena hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. Dalam lontar Sunarigama dijelaskan rincian upacara Hari Raya Galungan sebagai berikut: “Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacuan pikiran” Jadi inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacuan pikiran (byaparaning idep) adalah wujud Adharma. Kesimpulan dari lontar Sunarigama; bahwa Galungan adalah kemenangan Dharma melawan Adharma.

Namun kemudian muncul pertanyaan untuk kita semua; setelah sekian lama umat Hindu merayakan Galungan setiap enam bulan sekali, Apakah umat Hindu sudah menang? kemenangan seperti apa?, mengapa ada gejala moralitas semakin menurun, seolah-olah Adharmalah yang menjadi pemenang !?. Jika direnungkan berarti selama ini mungkin kita telah melakukan kekeliruan interpretasi terhadap hari Raya Galungan, sehingga pesan terdalam yang menjadi ROH dari Galungan hilang tak berbekas, karena kita baru besar pada ritual atau berupacara saja, tetapi belum bisa memaknainya sebagai media untuk merubah diri dari Avidya menuju Vidya agar menjadi Vijnanam untuk mencapai Anandam

Pesan Rohani Galungan
“Perangilah musuh dalam dirimu, hingga Engkau layak merayakan Galungan”

1). Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba yaitu;
Sebuah kegiatan rohani dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan “Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh” (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.

2). Sugihan Bali
Bali dalam bahasa Sanskerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri sesuai dengan lontar sunarigama: “Kalinggania amrestista raga tawulan” (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.

3). Panyekeban – puasa I
Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan.
Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan: “Anyekung Jnana” artinya mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan “Nirmalakena” (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Bhuta Galungan. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang atau tape untuk banten.

4). Penyajan – puasa II
Artinya hari ini umat mengadakan Tapa Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajan dalam lontar Sunarigama disebutkan: “Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi” upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah, yang mana boleh dan tidak boleh, yang mana hak dan yang bukan hak.bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.



5). Penampahan – puasa III
Berasal dari kata tampah atau sembelih artinya; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yaitu Mabyakala yaitu; membayar kepada Bhuta Kala. Makna sesungguhnya dari hari penampahan ini adalah memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri, bukan di luar termasuk sifat hewani tersebut. Ini sesuai dengan lontar Sunarigama yaitu ; “Pamyakala kala malaradan” artinya membayar hutang kepada ruang dan waktu. Bhuta = ruang , Kala = waktu , jadi Bhuta kala adalah ruang dan waktu, jadi harus diharmonisasi karena kita hidup diantara keduanya termasuk Atma hidup di antara ruang dan waktu jasmani yang diliputi oleh Bhuta. Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara – kegelapan yang bercokol dalam diri. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri. Dengan demikian bagaimana mau jadi pemenang malah jadi pecundang.

6). Galungan – lebar puasa
Hari kemenangan dharma terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.

7). Manis Galungan
Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia, inilah misi umat Hindu: Dharma Vada- menyampaikan ajaran kebenaran dengan Satyam Vada – mengatakan dengan kesungguhan daan kejujuran. “kabarkan kebenaran ini kepada mereka yang masih tersesat agar kembali ke ajaran Dharma, sampaikan kepada mereka wahai putra Utama”- janganlah malahan Engkau yang menjadi manusia tersesat dan kesasar dengan meninggalkan Dharma”!!

8). Pemaridan Guru
Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, maknyanya pada hari ini dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu; hidup sehat umur panjang dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Demikian makna Hari Raya Galungan sebagai hari pendakian spritual dalam mencapai kemenangan /wijaya dalam hidup ini ditinjau dari sudut pelaksanaan upacara dan filosofisnya.

Kuningan:hari Kasih Sayang
Sepuluh hari setelah hari Galungan kita rayakan sebagai hari suci Kuningan, yang sesungguhnya adalah merupakan pengejawantahan ajaran kebenaran itu sendiri berupa pelaksanaan pelayanan yang didasari oleh perasaan cinta kasih, hal ini terlihat dari berbagai simbol upakara yang digunakan saat hari Kuningan diantaranya:

1). Tamiang (Tameng), setiap umat semestinya mampu memberikan perlindungan, akan rasa aman dan nyaman dari anacaman, gangguan baik sekala dan niskala
2). Nasi Sulanggi (Su = baik, Langgi = panutan), umat Hindu harus dapat menjadi panutan baik bagi anak, istri, suami, keluarga, kerabat, bawahan. Intinya Ia harus menjadi suri tauladan kebenaran.
3). Nasi Tebog, mengisyaratkan kepada umat Hindu untuk bisa saling care (melindungi) dan share (berbagi), apalagi kepada mereka yang kesusahan dan sedang menderita (daridra deva bhava = kaum fakir miskin yang datang kepadamu adalah perwujudan Tuhan)
4). Endongan, dalam mengarungi hidup ini kita tidak bisa berdiri sendiri kita membutukan orang bahkan mahluk lain, karena setiap kehidupan memerankan fungsinya sesuai dengan Rta (hukum abadi semesta alam)
5). Kompek, setiap manusia pasti membutukan bekal ataupun biaya untuk melangsungkan kehidupannya. Untuk itu kita diwajibkan untuk dapat juga memberikan bekal penghidupan baik berupa makanan, harta, pendidikan, dan sebagainya.

Demikian sekiranya kupasan filosofis Galungan dan Kuningan yang dapat diketengahkan, agar dapat menjadi bahan renungan kita dalam memperbaiki, menata hidup ini agar dapat meniti kehidupan yang jauh lebih bermartabat, bersaaja, dan akhirnya dapat berlabuh dilautan kedamaian.

“Jika seekor kupu-kupu saat mereka mencari madu pada sekelopak bunga saja dapat tidak membuat bunga itu berguguran, apalagi manusia yang dianugerahkan wiweka dan winaya tentunya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terlahir sebagai manusia dengan melanggar Dharmaning Kamanusan”. Avighnamastu…!
“Jika kita mau jadi pemenang sejati? Mari jangan pura-pura menang dan seoalah-olah sudah melakukan pesan Galungan dengan taat.
“Kalau kita tidak mulai saat ini? Kapan lagi, apa menunggu kita menjadi tua, itu kalau kita sempat menjadi Tua, kalau tidak, sia-sialah hidup kita yang bagaikan kilatan petir”
“Sampaikanlah kebenaran dengan cara menyenangkan, tapi jangan menyenangi ketidakbenaran walau itu menyenangkan kita – Raih kemenangan bukan kepalsuan”

Om Santih Santih Santih Om

Kamis, 28 Maret 2013

Manifestasi Sang Hyang Widhi Hindu di Bali

Manifestasi Sang Hyang Widhi Hindu di Bali

Berdasarkan Widhi Tattwa dan Lontar Buwana Kosa


Sesungguhnya Ida Sang Hyang Widhi adalah tunggal (Ekam Eva Adwityam Brahman), tetapi Beliau memiliki kemahakuasaan untuk bermanifestasi melalui kekuatan "Maya"Nya menjadi kekuatan Dewa-Dewi, Bathara-Bhatari, Bhuta, Kala, Durga, Danawa, Paesaca termasuk alam semesta serta isinya. Kata Widhi berasal dari akar kata "VID" yang artinya widya (maha mengetahui). Beliau maha agung, suci murni, tenang dan tentram maha sempurna. Karena kesempurnaan Nya Beliau juga disebut "Parama Siwa". Beliau seutuhnya bersifat Purusa (cetana), merupakan kesadaran tertinggi yang melingkupi segalanya, tanpa aktifitas, belum ada pengaruh maya, dengan demikian Beliau bergelar "Nirguna Brahman".

Kemudian Sang Hyang Widhi mulai bermanifestasi, menjadikan diri Nya sendiri, berarti Beliau mulai menggunakan kekuatan maya Nya yang bersifat "Guna" sehingga kesadaran aslinya yang maha suci murni berkurang. (Ini adalah bentuk "pengorbanan" dari Sang Hyang Widhi untuk terciptanya kehidupan. red). Pada keadaan ini muncul kemahakuasaan Nya serba guna seperti berpendengaran serba jelas (Durasrawana), berpenglihatan serba jelas (Durasarwajna), mengetahui keadaan yang telah silam (Atita), yang sekarang (Wartamana) dan keadaan yang akan terjadi (Nagata). Beliau telah aktif, memiliki sifat pengampun, memberikan sinar penerangan, berinfiltrasi (Wyapi) tiada berwujud (Arupa) menjadi objek pemujaan dari semua makhluk, sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur hasil ciptaan Nya, maka beliau bergelar "Sada Siwa".
Melihat dari kemahakuasaan Nya yang memiliki sifat serba guna maka Beliau disebut juga sebagai "Saguna Brahman".

Sang Hyang Sadasiwa bermanifestasi lagi dengan swabawa Nya Sang Hyang Anerawang, kemahakuasaan Nya berupa getaran-getaran halus.

Sang Hyang Anerawang bermanifestasi lagi dengan swabawa Nya Sang Hyang Taya, kemahakuasaan Nya berupa bayangan yang masih samar-samar.

Sang Hyang Taya bermanifestasi lagi dengan swabawa Nya Sang Hyang Ruci, kemahakuasaan Nya sudah berwujud tetapi belum jelas.

Sang Hyang Ruci bermanifestasi lagi dengan swabawa Nya Sang Hyang Adi Suksma, kemahakuasaan Nya berupa embun yang gemerlapan.

Sang Hyang Adi Suksma bermanifestasi lagi dengan swabawa Nya Sang Hyang Siwa , pada saat ini pengaruh kekuatan maya Nya sudah makin besar sehingga Beliau memiliki Guna yang sempurna, kemahakuasaan Nya berupa Sakti, memiliki kekuatan Cadu Sakti. Beliau maha kerja, berinfiltrasi ke jagat raya dan bersemayam pada semua makhluk, dengan demikian Beliau memiliki sebutan "Kriya Guna Brahman".

Sang Hyang Siwa bermanifestasi lagi dengan swabawa Nya Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu menjadi kekuatan Purusa (Cetana) dengan sebutan Sang Hyang Macongol, dan kekuatan Prakerti (Acetana) dengan sebutan Sang Hyang Mecaling.

Setelah Sang Hyang Siwa bermanifestasi menjadi dua kekuatan Purusa-Prakerti, dengan masing-masing kekuatan memiliki sifat berbeda-beda, kemudian kekuatan tersebut menyatu kembali. Maka terjadilah suatu proses yang menghasilkan suatu reaksi yang amat dahsyat yaitu terjadinya pijaran api yang tak terhingga besarnya. Akhirnya menjadi gumpalan api yang maha besar, memiliki gaya dan daya putaran (mudra). Keadaan ini disebut Brahmanda (telur Brahman). Pada saat terjadinya manifestasi ini disebut masa penciptaan, swabawa Beliau disebut Sang Hyang Tunggal.

Karena perputaran Brahmanda tersebut maha dahsyat, maka terlemparlah keluar berupa percikan-percikan api. Percikan-percikan inipun memiliki gaya dan daya putaran juga (mudra), bentuk ini disebut Mahatresu-Mahatresu. Mahatresu inilah menjadi istilah planet-planet termasuk Bumi. (Identik dengan teori Big Bang. red). Keseimbangan dan perputaran Bumi (Cakrawala) diatur oleh kekuatan manifestasi Sang Hyang Widhi dengan swabawa Nya Sang Hyang Eka Bumi sebagai pengatur keserasian planet-planet.

Sang Hyang Eka Bumi kemudian bermanifestasi lagi dengan swabawa Tri Murti dengan kemahakuasaan Nya sebagai pencipta, pemelihara, pemralina (pelebur) dan memberi kekuatan terhadap Tri Loka, yaitu :

Hyang Brahma sebagai kekuatan pencipta, menguasai Bhur Loka (Pertiwi).

Hyang Wisnu sebagai kekuatan pemelihara, menguasai Bwah Loka (Udara).

Hyang Siwa sebagai kekuatan pemralina (pelebur), menguasai Swah Loka (Langit).

Dari manifestasi Tri Murti inilah mulai adanya rantai kehidupan di jagat raya samasta, yaitu dengan adanya kelahiran (Utpeti), kehidupan (Stiti), dan kematian (Pralina) terkait tentang terciptanya tumbuh-tumbuhan (Sarwa Meletik), binatang (Sarwa Prani) dan manusia, demikian juga mengalami lahir, kehidupan dan kematian.

Selanjutnya Sang Hyang Tri Murti bermanifestasi lagi dengan swabawa Nya Sang Hyang Asta Siwa, dengan kemahakuasaan Nya berinfiltrasi pada masing-masing Dewa dengan swabawa Sang Hyang Asta Dewata sebagai manifestasi delapan kemuliaan Sang Hyang Widhi (Asta Aiswarya). Sang Hyang Asta Dewata menjadi kekuatan pada delapan penjuru mata angin untuk memelihara keseimbangan sekala-niskala (Wahya Diatmika) agar titah Nya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Demikian juga untuk memelihara keserasian dan keseimbangan Asta Dewata maka Sang Hyang Siwa berfungsi sebagai sumbu (sumber) dalam pengaturan titah tersebut, sehingga Beliau disebut Dewata Nawa Sanga, yaitu :

Madya/Tengah/Pusat/Poros/Sumbu yaitu Sang Hyang Siwa
Purwa/Kangin/Wetan/Timur yaitu Sang Hyang Iswara

Geniyan/Genean/Kelod Kangin/Tenggara yaitu Sang Hyang Mahesora

Daksina/Kelod/Kidul/Selatan yaitu Sang Hyang Brahma

Neriti/Kelod kauh/Barat Daya yaitu Sang Hyang Rudra

Pascima/Kauh/Kulon/Barat yaitu Sang Hyang Mahadewa

Wayabya/Kaja Kauh/Barat Laut yaitu Sang Hyang Sangkara

Uttara/Kaler/Lor/Utara yaitu Sang Hyang Wisnu

Ersaniya/Kaja Kangin/Timur Laut yaitu Sang Hyang Sambu

Kemudian Sang Hyang Siwa bermanifestasi sebagai kekuatan Segara (laut) dengan sebutan Sang Hyang Parama Wisesa dengan swabawa Nya Sang Hyang Siwa Waruna. Beliau maha sakti sebagai pelebur segala kekotoran bumi.

Bermanifestasi sebagai kekuatan Gunung dengan swabawa Nya Sang Hyang Giri Jaya.

Bermanifestasi sebagai kekuatan Danau dengan swabawa Nya Sang Hyang Dewi Danuh.

Bermanifestasi sebagai kekuatan sawah (pertanian/perkebunan) dengan swabawa Nya Sang Hyang Dewi Sri.
Bermanifestasi sebagai kekuatan di Pura Desa dengan swabawa Nya Sang Hyang Upasedana.

Bermanifestasi sebagai kekuatan di Bale Agung dengan swabawa Nya Sang Hyang Sri Bagawati.

Bermanifestasi sebagai kekuatan di Pura Puseh dengan swabawa Nya Sang Hyang Ganapati.

Bermanifestasi sebagai kekuatan di Pura Dalem Setra dengan swabawa Nya Sang Hyang Uma Dewi.

Bermanifestasi sebagai kekuatan di Setra (kuburan) dengan swabawa Nya Sang Hyang Durga Dewi.

Bermanifestasi sebagai kekuatan pemuhunan (tempat pembakaran mayat) dengan swabawa Nya Sang Hyang Berawi.

Bermanifestasi sebagai kekuatan di Pura Penguluning Setra dengan swabawa Nya Sang Hyang Brahma Prajapati.

Bermanifestasi sebagai kekuatan di air pancoran atau bulakan atau mata air dengan swabawa Nya Sang Hyang Gayatri.

Bermanifestasi sebagai kekuatan pada jurang parung dengan swabawa Nya Sang Hyang Gangga Dewi.

Bermanifestasi sebagai kekuatan pada perempatan jalan (Catus Pata) dengan swabawa Nya Sang Hyang Catur Loka Pala.

Bermanifestasi sebagai kekuatan pada pertigaan jalan (Marga Tiga) dengan swabawa Nya Sang Hyang Sapuh Jagat.

Pelinggih / Stana tempat menghaturkan banten (sesajian) kepada manifestasi Sang Hyang Widhi yang disebut juga sebagai Sang Hyang Trisemaya atau Sang Hyang Sapuh Jagat.

Mulai ke Perumahan (Silahkan diserasikan juga dengan catatan saya sebelumnya tentang "Manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa dan Stana Nya")

Bermanifestasi sebagai kekuatan pada bangunan suci Kemulan/Rong Tiga dengan swabawa Nya Sang Hyang Guru Suksma. Beliau memiliki sifat Purusa-Pradana. Beliau adalah sumber dari segala pengajaran, meraga atma (berwujud atma/roh) pada rong kanan (selatan) bersifat Brahma sebagai Purusa dengan swabawa Nya Sang Hyang Sri Guru. Pada rong kiri (utara) bersifat Wisnu sebagai Pradana dengan swabawa Nya Sang Hyang Sri Adi Guru. Pada rong tengah menjadi penyatuan Purusa-Pradana meraga niratma (berwujud bukan atma/roh) bersifat Siwa dengan swabawa Nya Sang Hyang Sri Parama Adi Guru.

Bermanifestasi sebagai kekuatan pada bangunan suci Catu Meres (Gedong yang tidak bertumpang) dengan swabawa Nya Sang Hyang Sri Manik Galih (Dewa padi dan beras atau sumber makanan).

Bermanifestasi sebagai kekuatan pada bangunan suci Gedong Sari (Sanggah Natah) dengan swabawa Nya Sang Hyang Siwa Reka.

Bermanifestasi sebagai kekuatan pada bangunan suci Piasan dengan swabawa Nya Sang Hyang Wenang.

Bermanifestasi sebagai kekuatan Bhuta Dewa pada bangunan suci Taksu dengan swabawa Nya Sang Hyang bhuta Kala Raja.

Bermanifestasi sebagai kekuatan Durga Maya pada bangunan suci Penunggun Karang dengan swabawa Nya Sang Hyang Durga Manik.
Durga Manik artinya Dharma Wisesa, bentuk kekuatan ini yang paling dekat dengan manusia, oleh karenanya apabila manusia tidak melaksanakan pekerti atau pemeliharaan secara spiritual terhadap Dwi Hita Karana (hubungan dengan lingkungannya) maka kekuatan ini akan memperingatkan manusia melalui kekuatan wisesanya. Demikian pula sebaliknya, kekuatan ini akan memberikan kekuatan Dharmanya jika manusia tetap melaksanakan hubungan baik dengan lingkungannya.

Bermanifestasi sebagai kekuatan penjaga atau proteksi di depan halaman (sebelah kanan pintu gerbang) pada bangunan suci Lebuh dengan swabawa Nya Sang Hyang Wisesa.

Bermanifestasi sebagai kekuatan Duara Pala pada setiap bangunan suci Kori, Apit Lawang (pintu gerbang) dengan swabawa Nya Sang Hyang Panca Kala. Kemudian di sebelah kanan pintu keluar Sang Maha Kala, di sebelah kiri Sang Adi Kala. Tepat di pintu masuk Sang Kala, di depan pintu Sang Sunia Kala, pada aling-aling Sang Dora Kala. Sehingga tercipta tanda + (tapak dara) pada pintu masuk pekarangan.

Sang Panca Kala bermanifestasi menjadi suatu kekuatan untuk menguji sradha (keimanan) manusia dengan swabawa Nya Sang Durga Bhucari. Kekuatan ini bertitik sentrum di depan halaman rumah (Lebuh).

Bermanifestasi sebagai kekuatan untuk menguji sradha manusia dengan swabawa Nya Sang Kala Buchari, dengan bertitik sentrum pada halaman rumah (natah).

Bermanifestasi sebagai kekuatan untuk menguji sradha manusia dengan swabawa Nya Sang Butha Buchari, dengan bertitik sentrum pada halaman tempat pemujaan (natah Pemerajan/Sanggah).

Demikian beberapa isi petikan dari beberapa sumber ajaran Hindu Bali, mungkin masih banyak yang kurang tetapi mudah-mudahan berguna untuk di sebar luaskan sebagai tambahan informasi yang edukatif, praktis dan merupakan katalisator dalam pengentasan kemiskinan spiritualitas.

Dikutip dari buku : Manifestasi Sang Hyang Widhi
Oleh : Drs. I.B. Putu Sudarsana, MBA. MM.
Yayasan Dharma Acarya Denpasar Bali.



Fungsi Canang Sari dan Segehan

fungsi Canang sari dan Segehan


Canang sari dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap bebantenan apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung. Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala.
Mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan. Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda, hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
1. Canang memakai alas berupa "ceper" (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan "Ardha Candra" (bulan).

2. Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" (terdiri dari daun sirih, pamor [kapur] dan dimasukkan dalam jepitan janur) sebagai simbol "Silih Asih" dan Poros/Pusat yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.

3. Di atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali).

4. Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
5. Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.

Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.

Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.

Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.

Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.

Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Mahamertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).

Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana = Bhur-Bwah-Swah).

Segehan
Setelah kita menghaturkan canang sari, akan dilanjutkan dengan menghaturkan segehan. Segehan pun dibuat harus berdasarkan tattwa, dengan nasi yang berwarna seperti halnya dengan canang. Nasi pada segehan untuk yang dihaturkan di dalam lingkungan rumah seharusnya di kepel (di padatkan dengan kepalan tangan) sebagai simbol keteguhan dan kesatuan, agar keluarga dalam rumah tinggal dianugerahkan kedamaian, keteguhan dan kerukunan.

Arah Timur, warna nasi adalah putih.
Arah Selatan, warna nasi adalah merah. Dapat menggunakan nasi dari beras merah atau diwarnai dengan warna alami seperti pamor (kapur) dan sirih.
Arah Barat, warna nasi adalah kuning. Dapat diwarnai dengan kunyit.
Arah Utara, warna nasi adalah hitam. Dapat diwarnai dengan arang atau kopi.

Selalu mengusahakan pewarnaan nasi dengan warna alami, jangan menggunakan pewarna buatan, karena sama dengan kita sedang berbohong.
Di dalam segehan, selain nasi kepel juga berisi :
Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Bunga, cukup sehelai.
Garam sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan.
Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan.
Garam, bawang dan jahe adalah simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya.

Sesuai penjelasan di atas, maka canang sari dan segehan tersebut mengandung simbul kekuatan Sang Hyang Panca Dewata. Maka sudah sepantasnya, dalam penyusunannya tidak boleh asal-asalan asal kelihatan seni atau ngawur apalagi berantakan, kita seharusnya memperhatikan makna dan tujuannya. Kekeliruan yang sering dan lumrah kita lihat dikeseharian adalah tidak memperhatikannya arah mata angin pada saat menghaturkan canang sari, yang mana seharusnya luanan (hulu) mana teben. Kekeliruan akan terakumulasi mulai dari susunan bunga pada canang yang tidak sesuai ditambah lagi saat menghaturkannya tidak memperhatikan arah mata angin. Misalnya, warna putih seharusnya ke arah timur justru dipasang di arah barat, kemudian merah seharusnya di selatan justru ke timur.

Pernah saya mendengar keluh kesah dari beberapa kesempatan, mereka mengatakan bahwa, sudah menghaturkan canang sari dan segehan setiap hari ternyata hidup saya dan keluarga masih kacau balau.

Ironis bukan, jika ditelusuri ternyata kekacauan itu ternyata bukan semata-mata dari luar kita. Memang kita mungkin sudah menghaturkan canang sari setiap hari, namun tidak sesuai tata cara dan aturan sesuai Tattwa-nya. Sehingga yang terjadi adalah, kita menghaturkan canang sari yang isinya kacau balau, arah yang tidak sesuai apalagi ditambah isi yang tidak lengkap. Dengan kata lain, kacau balau dan ketidak sesuaian arah dan kehidupan yang tidak lengkap itulah yang kita mohonkan sesuai seperti kita menghaturkan canang yang kacau balau.

Yang dihaturkan --- kacau balau, maka anugerah yang diberikan adalah kekacauan... bukankah ini telah sesuai?
Jadi salah siapa?

Menghaturkan canang sari yang terbaik adalah dilakukan pada pagi hari, caranya haturkan canang sari pada tempatnya (seperti rong pelinggih dsb) sesuaikan warna bunga dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Saat ngayab, pastikan menggunakan tangan kanan, kemudian bunga pada posisi antara jari telunjuk dan jari tengah sebagai simbolis Siwa di dalam raga kita. Gerakan ngayab harus lemah gemulai dari sisi luar belakang ke arah depan. Harap hanya menggunakan tangan, jangan menggunakan alat bantu lainnya seperti saab atau lainnya yang tidak ada maknanya dalam tattwa.

Menghaturkan canang sari di pagi hari adalah simbolis Utpeti agar dalam hari tersebut kita mendapat restu anugerah dan karunia Sang Hyang Widhi. Kemudian lanjutkan dengan kegiatan sehari-hari kita yang merupakan Stiti . Kemudian pada sore harinya Salikaon (setelah matahari terbenam) kita menghaturkan segehan sebagai simbolis Pralina, sebagai ucap syukur dan mempersembahkan atau mengembalikan semua yang kita lakukan pada hari tersebut ke hadapan Sang Hyang Widhi.

Cara menghaturkan segehan pun ada aturannya. Letakkan segehan pada tempatnya di bawah (tidak di rong pelinggih) sesuaikan warna nasi dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu tuangkan Berem kemudian Arak berlawanan arah dengan jarum jam (ke kiri). Putaran ke kiri memiliki makna ke bawah (turun). Berem adalah simbol Ang dan Arak adalah Ah (lebih lengkapnya lihat catatan saya tentang "Makna Arak Berem"). Kemudian percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Kemudian ngayab seperti pada canang sari di atas. Sebagai penutupnya maka tuangkan kembali dengan urutan berbalik yaitu Arak kemudian Berem, searah dengan jarum jam (ke kanan). Putaran ke kanan memiliki makna ke atas (naik), ini simbolis ngeluhur yaitu mempersilahkan kekuatan Hyang Widhi untuk kembali kepada asalnya. Putaran bolak-balik ke kiri dan ke kanan ini pun simbolis dari kisah pemuteran Mandara Giri, untuk memohon dimancurkannya Tirtha Kehidupan (Panca Tirtha).

Demikian secara singkat tentang ritual sehari-hari beserta maknanya sesuai Tattwa ajaran Hindu Bali.

Semoga bagi yang membaca catatan ini yang kebetulan penganut Hindu Bali agar memperhatikan dan mulai memperbaiki apabila ternyata telah terjadi ketidaksesuaian dengan tattwa di atas. Semoga kehidupan anda dan keluarga akan semakin membaik.



Penjor Galungan


Masyarakat di Bali sudah tidak asing lagi dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) jenis penjor, antara lain Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari upacara keagamaan, misalnya upacara galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan pepenjoran atau penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dll. Pepenjoran atau penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll. Penjor sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dll.

Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”.

Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.
Dilihat dari segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.

Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:

- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.

Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut :

“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting (IB. PT. Sudarsana, 61; 03)

WHD No. 478 Nopember 2006.